Selasa, 24 Juli 2012

7 Sins - Prologue

PROLOGUE
Manusia.
Terlahir dari hanya campuran sperma dan ovum. Dari air mani. Dari sesuatu yang menjijikkan.
Namun kekuatan mereka sungguhlah besar. Karunia mereka berlimpah ruah. Rahmat terus mengalir kepada mereka.
Dan semakin lama, kekuatan mereka semakin besar.
Dan dengan kekuatan itulah, mereka membentuk dunia, peradaban.
Sampai pada batas di mana mereka menyalahgunakan apa yang telah diberikan kepada mereka.
Pertumpahan darah.
Kehancuran alam.
Mereka menciptakan dosa mereka sendiri.
Dosa yang akan dihapuskan, dan akan selalu terhapuskan.
Karena kami menyayangi mereka. Kami tidak akan membuat mereka mengalami kehancuran yang sama seperti yang telah terjadi dahulu kala.
“Indah, bukan?”
Semilir angin mengalir dengan kuat di langit yang menghitam. Ketegasannya membuat awan menghindar, bergerak perlahan. Di baliknya terungkap titik-titik cahaya yang berpendar lemah. Cahaya-cahaya dari bumi mengalahkan indahnya bintang-bintang itu.
“Selalu, Yang Mulia.”
Suara yang jernih namun tegas bergema dari mulut seorang pria. Setelan jas putih mewahnya berkibar dengan riang, begitu pula dengan rambutnya yang hitam pekat. Tinggi badannya semampai, serasi dengan wajahnya yang rupawan. Pupil matanya yang merah tak lepas dari sesosok gadis muda di hadapannya.
“Sebentar lagi  saya rasa mereka akan datang,” lanjut pria itu setelah dia mendekat ke arah si gadis.
“Ah, tidak usah khawatir, Gab,” sahut si gadis. “Kita punya banyak waktu.”
“Anda sudah menunggu lama di sini, Yang Mulia?”
Si gadis tertawa renyah. “Kau tahu ini tempat favoritku kan, Gab? Aku sudah berjam-jam di sini.”
Si pria tersenyum. Si gadis, yang sedang duduk di tepi gedung berlantai 250, menggoyangkan kakinya dengan riang. Kulitnya yang putih menyatu indah dengan gaun berwarna senada. Rambutnya pirang, memanjang sampai punggungnya yang kecil. Pandangannya mengarah ke cakrawala di mana titik-titik berwarna-warni berformasi dengan indah, terbentuk oleh lampu-lampu dunia.
 “Kita tahu kondisi kesehatan Anda masih belum cukup baik, Yang Mulia. Sebaiknya Anda jangan terlalu berlama-lama di sini untuk sementara waktu.”
Kembali gadis itu tertawa. “Aku hanya tidak bisa melewatkan pemandangan ini.”
“Tentu saja. Melihat bagaimana dunia berkembang, sangat menyenangkan pastinya.” Si pria merapikan jas dan dasinya yang kacau oleh angin tadi.
“Bisa kita mulai, Gabriel?” Sebuah suara berkata di belakang mereka.
Tiga sosok muncul di belakang. Ketiganya memakai pakaian resmi yang mewah, jas dan celana panjang yang rapi. Salah satu yang bersandar di sisi landing platform helikopter mengenakan setelan warna biru muda. Dua yang lain masing-masing memilih warna hitam dan coklat. Ketiga-tiganya sama seperti Gabriel, memiliki wajah yang tampan.
“Tentu saja, saudara-saudaraku,” jawab Gabriel. “Yang Mulia, kita sudah siap.”
“Maafkan keterlambatan kami, Yang Mulia,” pria berjas hitam memulai pembicaraan. “Ada sesuatu yang sedikit menghalangi perjalanan hamba kemari. Anda tahu, masalah eksekutif.” Pupil hitam pekatnya sedikit memantulkan cahaya-cahaya lampu.
“Aku juga, Yang Mulia. Biasalah, manusia-manusia itu sangat histeria sekali terhadapku.” Si pria berjas coklat kali ini yang berbicara. Dia memamerkan giginya yang putih dan tersusun rapi dengan cengirannya.
“Bukankah aku sudah bilang untuk menjaga cara bicaramu dengan Yang Mulia, Is,” si jas biru muda kali ini mendekat ke arah saudara-saudaranya. “Maafkan kelancangan saudaraku ini, Yang Mulia.”
“Hei, kau ini memang tidak asyik, Mikh,” si jas coklat membalas. Bibirnya menyudut kesal.
“Hei, hei, jaga sikap kalian,” kata si jas hitam.
“Aku sulit sekali mengingat saat-saat kalian pernah akur, kalian berdua” timpal Gabriel.
Terdengar tawa manis si gadis. “Kalian benar-benar saudara yang akrab ya.” Dia berdiri dari tempat duduknya. Si gadis mengerang sedikit, meregangkan badannya yang terik terlalu lama tak bergerak. Kemudian dia menghadapkan diri ke Empat Saudara.
“Kalian tahu kan, kenapa aku memanggil kalian kemari,” si gadis berbicara.
Suasana langsung berubah serius. Keempat Saudara langsung memandang si gadis dengan tatapan sendu.
“Mereka.... Apakah mereka sangat ingin sekali mendatangkan kehancuran diri mereka sendiri?” Si jas hitam berkata sambil memandang ke bawah dengan murung.
“Mereka hanya tidak tahu, Azrael,” si gadis berkata. “Mereka tidak tahu apa pun soal itu. Mereka hanya bisa menerima anugerah itu.”
“Anugerah yang hanya mendatangkan bencana.”
“Dan hanya kita yang bisa menghentikannya, saudaraku,” Gabriel ikut berbicara.
“Kita ada untuk itu, bro,” kata si jas coklat.
Mereka mulai muncul kembali. Begitu kan, Yang Mulia?” Si jas biru bertanya pada si gadis.
“Ya, dan selalu. Namun kita akan selalu memburu mereka….” Si gadis kembali menghadap ke tepi gedung. Sayup-sayup terdengar bising mesin dan klakson dari ruwetnya lalu lintas di bawah gedung itu.
“Menghapus mereka….”
Semua demi manusia yang kita sayangi.

Sabtu, 25 Februari 2012

7 Sins - Chapter 1


CHAPTER 1
Dosa Yang Kau Perbuat

“Brrrr.”
Cucuran air yang dingin memang cocok sekali untuk membangunkanku. Rasanya mata ini tak akan kembali menutup.
Kugosokkan kakiku yang basah ke keset di depan kamar mandi. Pukul 05.30, begitulah yang kulihat di jam dinding yang menggantung di atas jendela kamar. Suasana masih agak gelap, matahari baru terbit setengahnya. Kuarahkan kakiku ke lemari, mencari seragam putih abu-abu. Segera setelah berbenah diri, aku menengok ke arah cermin. Dengan cekatan aku menyisir rambut yang masih agak basah itu.
Oke, semua sudah beres. Kutoleh kembali bayangan wajahku di cermin, mencari sesuatu yang mungkin bisa membuat aku ditertawakan di sekolah.
Kulirik kembali jam dinding, pukul 05.45.
Saatnya berangkat. Tapi ada sesuatu yang mengganjalku.
Krrruyyyyykk
Ah, ternyata perutku menyanyikan senandung lapar.
Kuperhatikan lagi kamarku. Yah, kamar anak lelaki biasanya tidak rapi, dan begitu juga denganku. Meja bundar di tengah-tengah kamarku penuh dengan sampah-sampah plastik makanan. Aku serakkan sampah itu ke lantai (membuat keadaan kamarku menjadi makin parah), dan ada sesuatu yang jatuh. Kuambil benda itu, roti yang terbungkus plastik. Hanya tersisa setengah, namun kurasa cukup untuk memuaskan lambungku.
Baru saja aku akan memasukkan roti itu ke mulut, aku teringat sesuatu.
Kulihat lagi bungkusan rotiku itu. Tanggal kecil yang tertera di pembungkus itulah yang aku cari.
Masih aman rupanya. Langsung saja kulahap roti itu.
Aku keluar dari kamar. Dengan berlari kecil, aku menuruni tangga dan segera berjalan menuju ke sekolah.
Ah ya, aku masih belum mengenalkan diriku kan?
Namaku Harika Irawan. Panggilanku? Ira, biasanya aku dipanggil. Sangat tidak maskulin, ya? Yah, mau bagaimana lagi. Orang tuaku memanggilku seperti itu semenjak aku kecil. Kadang-kadang aku berpikir kenapa mereka memberiku nama seperti itu.
Biarlah. Kata pepatah, apalah arti sebuah nama.
Kenapa aku berjalan kaki ke sekolah? Padahal zaman sekarang anak-anak remaja sudah memakai kendaraan ke sekolahnya, minimal memakai sepeda lah. Ini soal selera menurutku. Aku lebih senang menghirup udara segar pagi. Dan kurasa berjalan kaki tidaklah buruk. Aku bisa menikmati keadaan sekelilingku dengan seksama. Memakan waktu sekitar 30 menit berjalan ke sekolahku ini.
“Hei, Ira!”