PROLOGUE
Manusia.
Terlahir dari hanya campuran sperma
dan ovum. Dari air mani. Dari sesuatu yang menjijikkan.
Namun kekuatan mereka sungguhlah
besar. Karunia mereka berlimpah ruah. Rahmat terus mengalir kepada mereka.
Dan semakin lama, kekuatan mereka
semakin besar.
Dan dengan kekuatan itulah, mereka
membentuk dunia, peradaban.
Sampai pada batas di mana mereka
menyalahgunakan apa yang telah diberikan kepada mereka.
Pertumpahan darah.
Kehancuran alam.
Mereka menciptakan dosa mereka
sendiri.
Dosa yang akan dihapuskan, dan akan
selalu terhapuskan.
Karena kami menyayangi mereka. Kami
tidak akan membuat mereka mengalami kehancuran yang sama seperti yang telah
terjadi dahulu kala.
“Indah, bukan?”
Semilir angin mengalir dengan kuat di
langit yang menghitam. Ketegasannya membuat awan menghindar, bergerak perlahan.
Di baliknya terungkap titik-titik cahaya yang berpendar lemah. Cahaya-cahaya
dari bumi mengalahkan indahnya bintang-bintang itu.
“Selalu, Yang Mulia.”
Suara yang jernih namun tegas bergema
dari mulut seorang pria. Setelan jas putih mewahnya berkibar dengan riang,
begitu pula dengan rambutnya yang hitam pekat. Tinggi badannya semampai, serasi
dengan wajahnya yang rupawan. Pupil matanya yang merah tak lepas dari sesosok
gadis muda di hadapannya.
“Sebentar lagi saya rasa mereka akan datang,” lanjut pria itu
setelah dia mendekat ke arah si gadis.
“Ah, tidak
usah khawatir, Gab,” sahut si gadis. “Kita punya banyak waktu.”
“Anda sudah
menunggu lama di sini, Yang Mulia?”
Si gadis
tertawa renyah. “Kau tahu ini tempat favoritku kan, Gab? Aku sudah berjam-jam
di sini.”
Si pria
tersenyum. Si gadis, yang sedang duduk di tepi gedung berlantai 250,
menggoyangkan kakinya dengan riang. Kulitnya yang putih menyatu indah dengan
gaun berwarna senada. Rambutnya pirang, memanjang sampai punggungnya yang
kecil. Pandangannya mengarah ke cakrawala di mana titik-titik berwarna-warni
berformasi dengan indah, terbentuk oleh lampu-lampu dunia.
“Kita tahu kondisi kesehatan Anda masih belum
cukup baik, Yang Mulia. Sebaiknya Anda jangan terlalu berlama-lama di sini
untuk sementara waktu.”
Kembali
gadis itu tertawa. “Aku hanya tidak bisa melewatkan pemandangan ini.”
“Tentu saja.
Melihat bagaimana dunia berkembang, sangat menyenangkan pastinya.” Si pria
merapikan jas dan dasinya yang kacau oleh angin tadi.
“Bisa kita
mulai, Gabriel?” Sebuah suara berkata di belakang mereka.
Tiga sosok
muncul di belakang. Ketiganya memakai pakaian resmi yang mewah, jas dan celana
panjang yang rapi. Salah satu yang bersandar di sisi landing platform helikopter mengenakan setelan warna biru muda. Dua
yang lain masing-masing memilih warna hitam dan coklat. Ketiga-tiganya sama
seperti Gabriel, memiliki wajah yang tampan.
“Tentu saja,
saudara-saudaraku,” jawab Gabriel. “Yang Mulia, kita sudah siap.”
“Maafkan
keterlambatan kami, Yang Mulia,” pria berjas hitam memulai pembicaraan. “Ada
sesuatu yang sedikit menghalangi perjalanan hamba kemari. Anda tahu, masalah
eksekutif.” Pupil hitam pekatnya sedikit memantulkan cahaya-cahaya lampu.
“Aku juga,
Yang Mulia. Biasalah, manusia-manusia itu sangat histeria sekali terhadapku.”
Si pria berjas coklat kali ini yang berbicara. Dia memamerkan giginya yang putih
dan tersusun rapi dengan cengirannya.
“Bukankah
aku sudah bilang untuk menjaga cara bicaramu dengan Yang Mulia, Is,” si jas
biru muda kali ini mendekat ke arah saudara-saudaranya. “Maafkan kelancangan
saudaraku ini, Yang Mulia.”
“Hei, kau
ini memang tidak asyik, Mikh,” si jas coklat
membalas. Bibirnya menyudut kesal.
“Hei, hei,
jaga sikap kalian,” kata si jas hitam.
“Aku sulit
sekali mengingat saat-saat kalian pernah akur, kalian berdua” timpal Gabriel.
Terdengar tawa
manis si gadis. “Kalian benar-benar saudara yang akrab ya.” Dia berdiri dari
tempat duduknya. Si gadis mengerang sedikit, meregangkan badannya yang terik
terlalu lama tak bergerak. Kemudian dia menghadapkan diri ke Empat Saudara.
“Kalian tahu
kan, kenapa aku memanggil kalian kemari,” si gadis berbicara.
Suasana
langsung berubah serius. Keempat Saudara langsung memandang si gadis dengan
tatapan sendu.
“Mereka.... Apakah
mereka sangat ingin sekali mendatangkan kehancuran diri mereka sendiri?” Si jas
hitam berkata sambil memandang ke bawah dengan murung.
“Mereka
hanya tidak tahu, Azrael,” si gadis berkata. “Mereka tidak tahu apa pun soal
itu. Mereka hanya bisa menerima anugerah itu.”
“Anugerah
yang hanya mendatangkan bencana.”
“Dan hanya
kita yang bisa menghentikannya, saudaraku,” Gabriel ikut berbicara.
“Kita ada untuk itu, bro,”
kata si jas coklat.
“Mereka mulai muncul kembali.
Begitu kan, Yang Mulia?” Si jas biru bertanya pada si gadis.
“Ya, dan selalu. Namun kita akan selalu memburu mereka….” Si gadis kembali menghadap ke tepi gedung. Sayup-sayup
terdengar bising mesin dan klakson dari ruwetnya lalu lintas di bawah gedung
itu.
“Menghapus mereka….”
Semua demi manusia yang kita sayangi.