CHAPTER 1
Dosa Yang Kau
Perbuat
“Brrrr.”
Cucuran air yang dingin memang cocok sekali untuk membangunkanku.
Rasanya mata ini tak akan kembali menutup.
Kugosokkan kakiku yang basah ke keset di depan kamar mandi. Pukul 05.30,
begitulah yang kulihat di jam dinding yang menggantung di atas jendela kamar.
Suasana masih agak gelap, matahari baru terbit setengahnya. Kuarahkan kakiku ke
lemari, mencari seragam putih abu-abu. Segera setelah berbenah diri, aku
menengok ke arah cermin. Dengan cekatan aku menyisir rambut yang masih agak
basah itu.
Oke, semua sudah beres. Kutoleh kembali bayangan wajahku di cermin,
mencari sesuatu yang mungkin bisa membuat aku ditertawakan di sekolah.
Kulirik kembali jam dinding, pukul 05.45.
Saatnya berangkat. Tapi ada sesuatu yang mengganjalku.
Krrruyyyyykk
Ah, ternyata perutku menyanyikan senandung lapar.
Kuperhatikan lagi kamarku. Yah, kamar anak lelaki biasanya tidak rapi,
dan begitu juga denganku. Meja bundar di tengah-tengah kamarku penuh dengan
sampah-sampah plastik makanan. Aku serakkan sampah itu ke lantai (membuat
keadaan kamarku menjadi makin parah), dan ada sesuatu yang jatuh. Kuambil benda
itu, roti yang terbungkus plastik. Hanya tersisa setengah, namun kurasa cukup
untuk memuaskan lambungku.
Baru saja aku akan memasukkan roti itu ke mulut, aku teringat sesuatu.
Kulihat lagi bungkusan rotiku itu. Tanggal kecil yang tertera di
pembungkus itulah yang aku cari.
Masih aman rupanya. Langsung saja kulahap roti itu.
Aku keluar dari kamar. Dengan berlari kecil, aku menuruni tangga dan
segera berjalan menuju ke sekolah.
Ah ya, aku masih belum mengenalkan diriku kan?
Namaku Harika Irawan. Panggilanku? Ira, biasanya aku dipanggil. Sangat
tidak maskulin, ya? Yah, mau bagaimana lagi. Orang tuaku memanggilku seperti
itu semenjak aku kecil. Kadang-kadang aku berpikir kenapa mereka memberiku nama
seperti itu.
Biarlah. Kata pepatah, apalah arti sebuah nama.
Kenapa aku berjalan kaki ke sekolah? Padahal zaman sekarang anak-anak
remaja sudah memakai kendaraan ke sekolahnya, minimal memakai sepeda lah. Ini
soal selera menurutku. Aku lebih senang menghirup udara segar pagi. Dan kurasa
berjalan kaki tidaklah buruk. Aku bisa menikmati keadaan sekelilingku dengan
seksama. Memakan waktu sekitar 30 menit berjalan ke sekolahku ini.
Kurasa aku harus akui ada hal lain yang membuatku lebih memilih berjalan
kaki.
Aku memalingkan muka ke arah suara. Seorang gadis dengan seragam senada
denganku berlari kecil menghampiri diriku. Rambutnya diikat menyampir ke
samping. Wajahnya yang ceria (aku jarang melihatnya tidak dalam keadaan begitu)
berpadu dengan cahaya matahari pagi yang lembut. Begitu pula dengan senyumnya.
Dan aku tak akan melupakan kata “cantik” untuk gadis ini. Benar-benar….
Benar-benar membuatku tak berdaya.
Oke, pilihan kata-kataku mungkin terlalu jayus. Tapi apa lagi yang bisa
kukatakan?
Oh oh, semoga wajahku tidak bersemu merah. Segera aku berusaha bersikap
normal begitu dia sudah berada di dekatku.
“A-ah, hei juga, Sabrina,” sapaku, berusaha membuat suaraku tidak
tercekat.
“Gimana ujian kemarin? Aku gak bisa ngerjain beberapa soal nih,” ujar Sabrina memulai pembicaraan
ketika dia sudah menyamakan langkahnya denganku.
“Ujian kemarin? Ha ha, kurasa aku gak
lulus deh kali ini. Sulit banget,” gerutuku.
“Begitukah? Rasanya kamu cukup paham dengan materi kemarin?”
“Karena itu lah. Soal yang keluar tidak sesuai dugaanku rupanya.”
Percakapan kami mengalir dengan baik. Syukurlah aku tidak melakukan
hal-hal bodoh di depannya.
Sabrina Rahma, nama gadis di sampingku ini. Dia teman sekelasku. Dan
semenjak awal pertama masuk sekolah sampai sekarang, aku selalu satu kelas dengannya.
Dan semenjak itu pula, aku menyukainya. Seorang gadis yang ramah dan juga
supel, tidak perlu waktu lama dia menjadi primadona sekolah. Sudah bukan rahasia
lagi kalau banyak laki-laki yang mengincarnya untuk dijadikan pacar. Tapi juga
tidak sedikit dari pihak wanita yang mengidolakannya.
Dan aku merasa beruntung sekali bisa mempunyai waktu hanya berdua saja
dengannya.
Haha, yah, walaupun aku tahu, mungkin dia tidak melihatku sebagaimana
aku melihatnya. Aku hanya teman biasa, sama seperti semua lelaki lain.
Seorang siswa biasa ingin mendapatkan hati seorang putri sekolah?
Ayolah, jangan banyak mengkhayal, Ira.
Asyik mengobrol, akhirnya kami sampai di gerbang sekolah. “Sekolah
Menengah Atas Wira Jaya” melengkung sempurna membentuk gerbang penyambut para murid.
Walaupun ini baru sekitar pukul 06.15, sudah terasa kehidupan di sekolah ini.
Jalan setapak menuju gedung utama memandu kami. Di sekelilingnya terpapar
rumput hijau yang sedang disirami pemancur berputar otomatis. Matahari yang
sudah agak meninggi membuat titisan air berkilau. Di beberapa sudut juga
terdapat pohon yang rimbun.
Suasananya cukup nyaman, kuakui. Secara, sekolahku ini termasuk kategori
sekolah bergengsi. Aku termasuk yang sangat beruntung bisa diterima masuk di
SMA Wira Jaya ini. Secara mengejutkan, dengan level intelijensi otakku, aku
bisa mencapai 15 besar pada saat pengumuman penerimaan murid.
“Ah, aku harus ke kantor OSIS dulu, Ira,” Sabrina memberitahuku. “Sampai
ketemu di kelas ya.” Dia melambaikan tangan dan pergi ke arah yang lain.
“Y-ya, sampai ketemu juga,” balasku.
Haaah, kuharap waktu berjalan lebih lambat tadi.
Tak apalah. Masih ada esok pagi, haha.
Kunaiki tangga menuju lantai dua. Beberapa meter kemudian, sampailah aku
di depan pintu kelasku. Kelas IPA-2. Aku berjalan ke arah kursiku di bagian
pojok belakang. Di samping kursiku itu tepat bertengger jendela yang mengarah
ke halaman depan sekolah. Biasanya aku melihat kebalik jendela itu saat suasana
pelajaran sedang membosankan.
Kuletakkan tasku di atas meja. Aku melirik ke arah jendela, dan tanpa
sengaja mataku tertarik akan sesuatu.
Di depan gerbang sekolah, berdiri sesosok pria. Dia memakai jubah hitam
(di cuaca panas begini?) dan topi ala koboy warna hitam pula. Kelihatannya dia
tidak terganggu dengan pandangan para murid yang berjalan masuk ke sekolah. Dan
satu hal yang mengejutkanku.
Pandangannya tepat mengarah padaku. Matanya langsung menatap ke arah
mataku.
Seolah dia tahu kalau aku memang di sana.
Dan seketika lengan kiriku terasa menyengat. Aku mengerang pelan.
Kupegang lengan bagian bawah itu. Dan dengan seketika pula, rasa sakit itu
sirna.
Kulihat lagi keluar jendela. Sosok pria itu sudah hilang.
Aku menautkan alis. Apa yang sedang terjadi? Ke mana pria berjubah hitam
itu?
Perasaanku menjadi tidak enak.
Masih terbalut dengan rasa penasaran, aku dikejutkan lagi dengan
teriakan temanku yang memintaku membantu dia piket kelas.
***
RIIINNNGGGG!
RIIIINNNGGG!
Bel pertanda pergantian waktu itu membuyarkan lamunanku. Suara-suara
kursi yang bergesekan dengan lantai mengisi ruang kelas. Mulai terdengar riuh
rendah percakapan anak-anak remaja. Memang saat yang dinanti saat sekolah
adalah jam istirahat.
Tapi aku rasa aku sedang tidak ingin berbuat apapun dulu.
Masih melekat di kepalaku, kejadian tadi pagi barusan. Pikiranku masih
belum bisa mengolahnya dengan logika.
Kuhembuskan nafas keras-keras, mencoba mengusir rasa frustasi. Aku
genggam lengan kiriku tepat di mana rasa sakit itu muncul tadi pagi. Aneh,
sekarang rasanya begitu normal. Kupijat-pijat di bagian itu, dan memang tidak
ada yang tidak biasa.
Ah, kurasa aku terlalu banyak berpikir.
“Hei, kamu baik-baik saja, Ira? Dari tadi kamu melamun terus.”
Aku terkejut mendengar suara itu. Sabrina ada di sampingku sekarang, dan
sialnya (atau boleh kukatakan beruntung?) wajahnya tak jauh dari wajahku
sendiri. Aku bisa mencium aroma tubuhnya sekarang. Oh tidak, aku bisa merasa
panas mengalir ke wajahku.
“Kau sakit?” tanya Sabrina. Muka airnya terlihat agak cemas.
“A-ah, ti-tidak. Tidak. Aku gak
kenapa-kenapa kok,” jawabku palsu.
“Apa kamu gak mau keluar?
Sudah istirahat lho.”
“Ku-kurasa aku di kelas aja
deh,” aku menolak.
“Yakin? Mau dibeliin apa kek di kantin?”
“Gak usah repot-repot,
Sabrina. Aku belum lapar kok.”
“Oh, okelah kalau gitu. Aku
duluan ya!” Dia tersenyum manis dan segera berbalik pergi.
Aaahhh, momen yang menyenangkan sekali.
Oh, aku lupa menambahkan sesuatu. Sang pujaan hatiku itu duduk tepat di
sebelahku (aku sampai terdiam satu jam mengetahui kenyataan ini). Karena itulah
mungkin dia tahu aku tidak fokus ke kelas tadi. Banyak keberuntungan yang
kudapatkan selama di sekolah ini, haha.
Dan satu pikiran terlintas di otakku. Apa Sabrina sering memperhatikanku
ya?
Ah, lupakan fantasi bodohmu itu, Ira.
Aku berdiri dari kursiku. Pinggangku terasa pegal, sedikit putaran akan
merontokkan pegal itu. Bunyi derakan keluar dari sela-sela sendiku. Aku memilih
menghampiri kerumunan di sudut kelas. Ada apa di sana?
Rupanya salah satu temanku sedang memamerkan komputer jinjingnya yang
baru. Barang elektronik mahal itu berwarna putih yang glossy. Mereka nampaknya sedang melihat sesuatu di layar laptop
itu.
“Oh, kau, Ira. Coba lihat nih. Koleksi terbaru sepatu Abidas sudah
keluar lho,” seru salah satu temanku.
“Hah, yang benar? Mana mana?” Aku segera ikut larut dalam kegiatan
mereka.
Kami pun asyik berselancar di dunia maya. Melihat barang-barang bagus di
internet itu membuat hati senang, sekaligus miris. Hanya bisa memandang tanpa
memilikinya. Haha, tentu saja kalau kondisi keuanganku berlebih, aku bisa
membeli barang-barang itu. Tapi kenyataannya tidaklah begitu.
Dan akhirnya bel masuk berbunyi. 30 menit berlalu tanpa terasa saat
suasana menyenangkan ya?
Peristiwa tadi pagi sudah sedikit menghilang dari pikiranku. Dengan
perasaan senang, aku kembali ke kursiku.
Pelajaran apa setelah ini? Oh, bahasa inggris rupanya. Mengingat
bagaimana disiplinnya guru bahasa inggris kami, aku lihat anak-anak langsung
duduk tenang di kursinya masing-masing. Tak akan ada yang mau mencari masalah
di kelas bahasa inggris.
Dan suara ketukan sepatu di lantai terdengar menggema menuju ke kelas
IPA-2. Cuma perasaanku, atau memang suasana menjadi agak tegang di kelas ini?
Pintu kelas dibuka, dan seorang wanita pun masuk. Tunggu, seorang
wanita? Seingatku guru bahasa inggris kami adalah pria (yang brewokan,
bertampang sangar, dan punya bekas luka mengerikan di matanya).
Dan wanita tadi berdiri di depan kelas dengan tampang yang arogan. Dia
mulai berbicara.
“Listen up, you students. Since
today, I’m your English teacher. Don’t ask about your last teacher. You’ll
don’t want to know what happen to him.”
Kami semua cuma bisa terdiam mendengar penjelasan wanita ini. Ehm, tidak
mengerti adalah kata yang lebih tepat. Keadaan menjadi semakin sunyi.
Wanita itu menepuk dahinya. “Ya ampun. Kalian sudah diajarkan apa saja
oleh mantan tentara itu? Saya bilang tadi, saya adalah guru pengganti bahasa
inggris kalian.”
Masih sunyi. Dan beberapa detik kemudian….
“HORE!!!”
Suasana menjadi riuh rendah di kelas. Beberapa murid bahkan menari-nari
saking senangnya. Yang lain bersiul-siul dan berteriak penuh kemenangan.
BRAKKK!!!
Bunyi tubrukan itu melenyapkan euforia yang ada.
“Silence! What the **** is going
on in here?! Are you all crazy?!” teriak guru pengganti itu. “You, sit down now!” Dia menunjuk
murid-murid yang menari. Tidak perlu penerjemahan lagi untuk tahu guru baru ini
sedang marah.
Keadaan menjadi tegang, ehm, tenang kembali sekarang.
“Okay, saya akan kenalkan
dahulu siapa saya ini. Kalian bisa panggil saya Mrs. Vigil. Vigil Sinata,” Mrs.
Vigil memperkenalkan diri. “And now,
I’ll look on your absence.” Dia mulai memanggil nama murid-murid satu
persatu.
“All right, every body is here.
Now, open your book on page 21,” perintahnya, tanpa basa-basi.
Selama dia mengajar, aku sedikit memperhatikan guru baruku ini.
Rambutnya panjang ikal sampai sebahunya dan berwarna kecoklatan. Kacamatanya
yang berbingkai hitam bertengger tegas. Blouse putih dilapisi dengan blazer
hitam adalah pilihannya, dengan rok span berpadanan sama. Jari-jarinya yang
lentik memegang spidol hitam dan menggerakkannya dengan halus. Dan kalau aku
boleh menambahkan, tinggi dan bentuk tubuhnya sangat ideal untuk wanita
seumurannya.
Tapi tentu saja, bagiku gadis yang duduk di sebelahku (baca: Sabrina)
tetap yang nomor satu, haha. Sedikit kulirik dia yang sedang menulis di bukunya
itu.
Aku kembali mencoba menyerap ilmu. Kufokuskan kembali pandanganku ke
buku yang ada di atas meja.
Oh oh, tiba-tiba ‘panggilan alam’ laki-lakiku muncul. Kucoba untuk
menahannya, namun kurasa kapasitas maksimalnya sudah terpenuhi. Aku segera
berdiri dan menghampiri Mrs. Vigil.
“Ehm, permisi, Mrs. Vigil.
Saya mau ke belakang,” izinku.
“English, please,” jawabnya
tanpa menoleh padaku.
Oh tentu saja. Kelas bahasa inggris, bicara bahasa inggris. “Excuse me, Ma’am. I want to go to rest room,”
ulagku dengan pelafalan yang masih norak.
“Go, then.” Mrs. Vigil nampak tidak peduli, dia
masih sibuk menulis di papannya.
Segera aku bergegas keluar. Toilet yang paling dekat ada di ujung
koridor lantai 2. Dengan berlari kecil aku mengarah ke sana. Sampai di dekat
tempat yang kutuju, aku terkejut dengan apa yang kulihat.
Berdiri bersandar di samping pintu toilet, sesosok lelaki itu melipat
lengannya. Dia nampak santai di sana. Di bawah topi koboy hitamnya terpampang
wajah pria setengah baya. Garis-garis keriput melintang di sekitar pipi dan
dahinya. Sedikit rambut coklat menyembul di kepalanya. Jubah hitamnya kontras
sekali dengan interior koridor sekolah yang putih bersih. Dan matanya yang
berpupil kuning dengan pelan menatapku.
“Hei, nak.” Pria itu tersenyum kecil.
Pria ini! Pria yang tadi pagi di gerbang sekolah!
Aku yang masih kaget dengan apa yang kulihat, tiba-tiba langsung
mendengar dengingan.
Dengingan itu begitu kuat, sampai kepalaku rasanya seperti ditusuk
beribu jarum. Kupegang kepalaku, berusaha mengusir rasa sakit yang ada. Dan
masih belum cukup sampai di situ, kembali rasa menyengat mendera lengan bawah
kiriku. Diterpa dua rasa sakit yang sangat, aku berlutut tak berdaya. Keringat
dingin langsung bercucuran deras di wajah dan tubuhku.
Pandanganku mulai mengabur. Upayaku untuk berteriak meminta tolong
sia-sia. Tenggorokanku tidak mau mengeluarkan suara. Dan dengan tenaga terakhir, aku menoleh ke
pria berjubah hitam itu.
Aku melihat garis hitam yang kabur di depanku. Lama kelamaan garis hitam
itu melebar. Bayangan hitam semakin jelas menutup penglihatanku. Dan ketika
pandanganku sudah menggelap….
Aku tahu aku sudah tidak sadarkan diri.
***
Bulir-bulir kabur bergerombol dalam pandanganku. Dan badanku rasanya
nyaman sekali, seperti berbaring di atas bulu-bulu lembut. Bulir-bulir itu
kemudian menyatu, membentuk gambaran yang lebih jelas. Gambaran putih sekarang
mulai terlihat, walau memang masih belum jelas.
Hei, kenapa aku melihat hal-hal itu?
Seingatku aku sedang di kelas, belajar bahasa inggris. Dan kemudian….
Dan kemudian….
Desakan memori memenuhi kepalaku, langsung mengaktifkan segala
kesadaranku.
Aku tersentak bangun. Pandanganku langsung bergerak ke sana kemari. Dan
aku langsung terpaku ke seseorang di sampingku. Sosok gadis itu nampak terkejut
melihatku yang bangun tiba-tiba.
“Ah, Ira. Akhirnya kamu sadar. Kamu kenapa?” Sabrina bertanya cemas. Dia
menyentuh lenganku lembut, berusaha menenangkan diriku.
Sekejap rasa lega mengalir ke seluruh tubuhku melihat Sabrina. “Di mana
ini? Apa yang terjadi?” tanyaku balik sambil mengusap-usap wajah.
“Aku gak tahu rincinya, tapi
ada anak yang nemuin kamu pingsan di
depan toilet, Ira,” jelas Sabrina, masih dengan tampang cemas. “ Mereka ngebawamu ke UKS. Kamu gak apa-apa kan? Dari tadi pagi kamu
kelihatan gak biasa.”
“Ah, ya, kurasa aku baik-baik aja.”
Aku melirik lengan kiriku. Lengan itu masih tetap seperti biasanya, tidak ada
luka atau apapun. Aku menggenggamnya, siapa tahu memang ada yang tidak biasa.
“Begitukah? Apa kamu demam?” Sabrina meletakkan telapak tangannya ke
dahiku.
Dan seketika, naluri lelakiku bangkit. Ya ampun, kenapa kau bertindak
seperti itu Sabrina. Tanpa cermin pun aku tahu pasti bahwa wajahku memerah
sekarang.
“Wajahmu memerah nih, tapi kamu tidak panas kok.”
“Ti-ti-tidak apa-apa, Sabrina.” Aku menepis lembut tangannya dari
dahiku. “Kurasa a-aku cuma kurang minum,” ujarku asal.
Sejenak aku berpikir untuk menceritakan soal pria berjubah hitam itu.
Tapi entah kenapa, aku mengurungkan niat itu.
“Kamu yakin? Kamu perlu ke dokter deh,”
saran Sabrina.
“Kupikir-pikir lagi. Jam berapa sekarang?”
“Tiga sore. Kamu sudah gak
sadarkan diri lama, Ira.”
Aku melihat ke arah jendela yang ada di ruangan putih ini. Cahaya
matahari menerobos masuk, menciptakan bayang-bayang hitam bergerak dari tirai. Kuhela
nafas perlahan. Dan aku memposisikan duduk di tepi ranjang tempatku berbaring.
“Kurasa aku mau pulang aja lah,”
kataku sambil bangkit berdiri.
“Gak apa-apa, Ira? Aku pikir
kamu harus istirahat dulu di sini.”
“Aku akan lebih nyaman di kamarku.” Aku mencari sepatuku, dan kutemukan
benda itu teronggok di sudut ruangan. Dan tasku juga ternyata sudah ada di
sampingnya.
“Oh ya, Sabrina,” kataku sambil memasang sepatu.
“Hemm, ya?”
“Terima kasih ya, udah ngeliatin aku.” Aku memberikan senyum
terbaikku.
Mungkin karena aku baru sadar, tapi aku bisa melihat sedikit rona merah
di pipi Sabrina. “O-oh ya, sesama teman harus saling membantu kan?” Dia
membalas senyumanku.
Teman, hah?
Ya, tentu saja. Dia menganggap semua laki-laki di sekolah hanya
temannya.
Ah, sudahlah. “Kalau begitu, sampai jumpa besok ya.” Aku berjalan keluar
dari UKS dan langsung pergi dari sekolah.
Namun aku tidak ada keinginan untuk kembali ke kamarku (dengan segala
keadaannya yang porak poranda itu). Dan tidak akan ada yang mencariku, secara
aku perantauan. Aku memang memutuskan untuk tidak tinggal dengan orang tuaku.
Lebih bisa mengatur diri, dan lebih bebas tentunya.
Dua jam aku melantur ke sana kemari, tanpa tujuan. Pikiranku masih sesak
atas segala yang terjadi. Siapa pria berjubah hitam itu? Kenapa lenganku
tiba-tiba sakit setiap melihatnya? Dan terlebih lagi, apa yang terjadi padaku
ini? Argh, bagaimanapun aku memikirkannya, tidak ada jawaban yang masuk akal
yang hinggap di kepala.
Saking frustasinya, kutendang keras-keras kaleng minuman bersoda yang
tergeletak di depanku. Kaleng itu melayang tinggi, dan mendarat….
Tung
“Woi, siapa yang ngelempar
kaleng ke kepalaku, hah?!”
Tepat mendarat di kepala seorang preman.
Dan dengan bodohnya aku memasang tampang bersalah di depannya. “Heh,
kamu ya yang nimpukin kepalaku?”
Preman itu tidak sendirian. Teman-temannya juga ikut-ikutan mendekatiku
dengan tampang mengancam. Sang preman menderakkan buku-buku jarinya dan
meludah, memberikan efek psikologis ke mangsanya.
Aku yang tidak mau cari masalah lebih memilih melawan dengan jurus ambil langkah seribu. Angin menampar
wajahku kuat seiring cepatnya aku berlari. Untung saja aku pernah ikut klub
olahraga lari jarak jauh. Seperti orang kalap aku berlari menghindari
preman-preman itu, tak peduli arah lagi. Masuk ke gang-gang sempit, berbelok ke
kanan dan kiri, melewati celah-celah dinding yang ada.
Dan akhirnya paru-paruku menyuruhku untuk berhenti. Kurasa mereka sudah
kehilangan jejakku. Kuambil nafas sebanyak-banyaknya sampai paru-paruku puas.
Beberapa butir keringat mengalir melalui mataku, yang langsung kuseka.
Sambil menyeka keringatku itu, aku melihat sesuatu yang lain. Kusejajarkan
lengan kiriku ke hadapan mataku. Ada sesuatu yang aneh di sana.
“Lebam?” Lingkaran hitam kebiruan yang berwarna pucat –hampir tidak
terlihat malah, tercetak di punggung lengan bawah kiriku. Kuusap-usap lingkaran
itu, namun tidak terasa apa-apa.
“Apa ini?” tanyaku pada diri sendiri.
“Tanda dosamu, Nak,” sebuah suara menjawab.
Aku yang kaget segera menoleh ke arah suara. Mataku membelalak ketika
melihat siapa yang menjawabku.
“Dan dosamu sulit terampuni, sayangnya.” Si pria berjubah hitam berdiri
di belakangku.
Aku yang sudah mempersiapkan diri untuk menerima rasa nyeri di tanganku
menggenggam lengan itu dengan erat. Mataku tidak lepas dari pupilnya yang
berwarna kuning.
Namun tidak terjadi apa-apa. Tidak ada dengingan, tidak ada sakit yang
menyengat.
Hanya bunyi angin yang bertubrukan dengan tanah yang mengisi ruang
kosong di antara kami. Lama kami berdiam diri. Aku mengerutkan dahiku sementara
pria itu terlihat santai, bahkan tersenyum. Cahaya jingga matahari menyiram
tubuh kami, memanjangkan pantulan bayangan yang semakin memudar.
“Apa, apa maksudmu?” tanyaku dalam keheningan. “Siapa kau ini? Apa yang
kau bicarakan?”
“Seperti yang kubilang, kau adalah orang yang berdosa,” jawab si pria.
Orang ini sudah gila! Bicara apa dia?! Berdosa? Aku? Apa yang telah
kulakukan?
“Dan aku telah dikirim untuk membersihkan dosamu, Nak. Tenanglah, jiwamu
akan diampuni.” Pria berjubah hitam itu mulai berjalan pelan mendekatiku.
Tangannya terjulur ingin menggapaiku.
Panik mulai menutupi pikiranku. Harusnya aku bisa melawan –atau
setidaknya lari. Namun entah kenapa aku hanya bisa gemetar diam di tempat.
Kakiku terlalu layu untuk diangkat. Mata pria itu seperti menghipnotisku.
Dalam gang yang lumayan lebar itu, aku merasa terhimpit. Derap sepatu
pria itu bergaung menakutkan di telingaku. Kenapa aku merasa diteror seperti
ini? Rasa takut menjalar deras ke setiap celah tubuhku. Keringat dingin keluar
deras dari celah pori-pori kulit. Aku seperti melihat hantu.
Tangan pria itu tinggal sedikit lagi akan mencapaiku. Tangan itu
kemudian bergolak aneh, mula-mula berubah warna menjadi putih. Benda putih itu
kemudian bergerak mengerucut tajam ke depan, membentuk ujung sula berwarna
metalik. Dan benda itu mengarah tepat ke arahku!
Pria itu menarik tangannya, berancang-ancang menusukkan tangannya
padaku.
Aku memejamkan mata mempersiapkan diri menerima takdir.
Dan ketika kupikir nasibku sudah berakhir….
BRUAK!!!
Suara hantaman keras mengisi rongga telingaku. Aku mengintip sedikit.
Pria itu sudah tidak ada di depanku. Dinding gang di sampingku terlihat retak
berat, seperti dihantam bola besi besar.
Dan selanjutnya gang di sekitarku itu meledak di berbagai tempat.
Dinding-dindingnya hancur berurutan, melayangkan serpihan-serpihan semen kecil
ke berbagai arah. Seperti ada kekuatan tak terlihat yang sedang
memporak-porandakan tempat ini. Aku berusaha melindungi diri dengan menutup
tubuh dengan tangan.
Kemudian segala kehancuran itu berhenti. Hening sejenak, hanya terdengar
suara runtuhan dinding-dinding gang yang hancur tadi. Meninggalkan aku dalam
kebingungan.
Dan dalam sekejap mata, seorang gadis berkelebat di depanku. Rambut
panjang hitamnya berkibar anggun di antara debu-debu dinding. Matanya bertemu
dengan mataku. Tatapannya menancap kuat, menusuk. Sudut mataku melihat sesuatu
yang aneh. Kaki kanan gadis ini. Dia memakai sesuatu seperti sepatu dari metal
setinggi lutut. Warna biru cerahnya dengan sedikit aksen emas sangat mencolok
dari pakaiannya yang didominasi warna hitam.
“Sebaiknya kau lari. Dia masih akan kembali,” gadis itu memperingati.
Dia segera berbalik dan kembali berkelebat hilang.
“Tunggu! Jelaskan dulu ap–.” Tidak sempat aku menyelesaikan perkataanku.
Gang itu mulai meledak-ledak lagi. Aku tidak punya pilihan lain. Segera aku
beranjak dari tempat itu.
Aku kembali berlari tanpa arah. Kali ini aku benar-benar tidak peduli ke
mana aku melangkah. Yang ada di kepalaku cuma beribu pertanyaan gila. Apa?
Bagaimana? Mengapa? Semua kata tanya melayang-layang di saraf otakku.
Kacau! Semua kacau balau hari ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar